I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) adalah tanaman perkebunan yang umumnya tumbuh di daerah tropis. Bagian dari buah kakao yang dimanfaatkan berupa biji, yang nantinya diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan bubuk coklat, biasa digunakan sebagai minuman penyegar dan makanan ringan. Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. (Isro’i, 2008).
Banyak terdapat limbah seperti limbah perkotaan, limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Limbah pertanian meliputi semua hasil proses pertanian yang tidak termanfaatkan atau belum memiliki nilai ekonomis. Salah satu cara untuk memanfaatkan limbah pertanian adalah dengan dijadikan kompos, seperti halnya dengan kulit buah kakao.
Bahan organik sering disebut segbagai bahan penyangga tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik rendah akan berkurang kemampuannya mengikat pupuk kimia sehingga efisiensinya menurun akibat sebagian pupuk hilang akibat pencucian, fiksasi atau penguapan. Kandungan bahan organik dalam tanah semakin lama semakin berkurang, oleh karena itu pemberian pupuk organik pada tanaman perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui penguruh pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman (Musnamar, 2004).
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik yang berasal dari pemanfaatan limbah kulit kakao yang terlebih dahulu dikomposkan dengan menggunakan aktivator EM-4. Menurut Departemen Pertanian (2004) produksi kakao di Jawa Barat pada tahun 1999 adalah 5.890 ton, data estimasi tahun 2002 adalah 5.002 ton sedangkan, produksi kakao Indonesia tahun 1999 adalah 367.475 ton dan estimasi tahun 2002 adalah 433.415 ton. Banyaknya produksi ini mengakibatkan kulit kakao sebagai limbah perkebunan meningkat. Lebih lanjut dikatakan oleh Darmono dan Tri Panji (1999), limbah kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi masalah jika tidak ditangani dengan baik. Produksi limbah padat ini mencapai sekitar 60% dari total produksi buah.
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86%, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono. dkk, 1997)
Menurut Didiek danYufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C-organik 33,71%; P2O5 0,186%; K2O 5,5%;CaO 0,23%; dan MgO 0,59%. Kulit buah kakao sampai saat ini belum banyak mendapat perhatian masyarakat atau perusahaan untuk dijadikan pupuk organik, umumnya pupuk organik yang digunakan berasal dari kotoran hewan, seperti sapi dan domba.

1.2 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan paper tentang Pengolahan Kompos Limbah Kulit Kakao adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan imformasi kepada pembaca tentang teknik pembuatan kompos dengan bahan baku limbah kulit kakao.
  2. Memberi informasi pada pembaca bahwa limbah kulit kakao juga bisa dimanfaatkan sebagai kompos.
1.3 Kerangka Pemikiran 

Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit.
Aplikasi pupuk organik merupakan salah satu alternatif yang biasa diterapkan dan dikembangkan. Ketersedian bahan buku yang melimpah dan belum dimanfaatkan perlu diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas usaha perkebunan.
Pembuatan dan pemanfaatan kompos limbah kulit kakao ini sangat membantu petani dalam budidaya tanaman, baik tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan karena dapat meningkatkan hasil produksi dan dapat juga menekan anggaran biaya pemupukan, apalagi pada saat sekarang ini subsidi pupuk anroganik dari pemerintah mulai dikurangi dan sering kali terjadi kelangkaan pupuk di masarakat petani Indonesia.


II. ISI

2.1 Pengertian Pupuk Organik

Menurut Heru (2002), pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan sisa-sisa makhluk hidup, tanaman, hewan, manusia, dan kotoran hewan. Pupuk ini merupakan pupuk lengkap, artinya mengandung unsur makro dan mikro. Keunggulan pupuk organik antara lain:
a. Pupuk organik berfungsi sebagai granulator sehingga dapat memperbaiki struktur tanah. Adanya bahan organik dapat mengikat butiran tanah yang lebih besar dan remah sehingga tanah menjadi lebih gembur.
b. Daya serap tanah terhadap air dapat meningkat dengan pemberian pupuk organik karena mengikat air lebih banyak dan lebih lama.
c. Pupuk organik dapat meningkatkan kehidupan mikroorganisme dalam tanah. Jasad renik dalam tanah berperan dalam perubahan bahan organik (BO).
d. Unsur hara di dalam pupuk organik merupakan sumber makanan bagi tanaman. Walaupun dalam jumlah sedikit, pupuk organik mengandung unsur lengkap.
e. Pupuk organik merupakan sumber unsur hara N, P, S.

2.2 Pengomposan

Menurut Heru (2002), kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal makhluk hidup seperti dedaunan, tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses pembuata kompos dapat dipercepat dengan bantuan manusia. Pupuk dengan C/N ratio yang tinggi kurang baik diberikan, karena proses peruraian selanjutnya akan terjadi di dalam tanah dan CO2 yang dihasilkan akan berpengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan.

2.3 Faktor-faktor Keberhasilan dalam Pengomposan

Menurut Isroi (2007) ada beberapa hal yang mempengaruhi pengomposan antara lain :
1. Nisbah C/N
Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nisbah C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Tekstur bahan baku
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran bahan baku juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut, dengan ukuran bahan baku yang ideal 2x2cm.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan menambah oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban (Moisture content) memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolismemikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
5. Mikrooranisme
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungannya langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60o C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60o C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
7. Reaksi kemasaman (pH)
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri, sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

2.4 Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Limbah Kulit Kakao

2.4.1 Alat dan bahan
Alat yang digunakan antara lain: cangkul, golok, timbangan, ember, gembor, dan kantong plastik untuk pengomposan, sedangkan bahan yang digunakan, yaitu limbah kulit kakao, air, fungisida, dan aktivator.

2.4.2 Metode pelaksanaan
Cara pembuatan kompos limbah kulit kakao hampir sama dengan cara pengomposan nenggunakan bahan lain, berikut ini prosedur kerja dalam pembuatan kompos limbah kulit kakao:
1. Mengumpulkan bahan baku yang masih berserakan di tempat pengumpulan buah kakao saat panen
2. Menjemur bahan baku limbah kulit kakao, dengan tujuan untuk mengurangi kadar air yang tersimpan dalam kulit kakao
3. Memperkecil ukuran bahan (limbah kulit kakao). Untuk memperkecil ukuran bahan dapat dilakukan dengan parang atau mesin pencacah, tujuan dari memperkecil ukuran bahan baku adalah untuk memperluas permukaan, sehingga proses dekomposisi bisa berjalan lebih cepat
4. Menyiapkan aktivator pengomposan. Jenis aktivator yang digunakan adalah (EM-4 atau Promi), kemudian larutkan ke dalam air dengan campuran 125ml EM-4 dilarutkan dengan 10 liter air.
5. Pemasangan kotak/plastik wadah pengomposan, kotak dapat terbuat dari papan dengan ukuran panjang 2m dan lebar 2m.
6. Memasukkan bahan ke dalam cetakan selapis demi selapis. Tinggi setiap lapisan ± 20 cm, kemudian siram tiap lapisan dengan larutan aktivator dan air sebanyak ± 250 ml. lalu bahan tersebut diinjak-injak agar memadat sambil disiram dengan aktivator pengomposan.
7. Setelah kotak penuh, buka kotak dan tutup tumpukan kulit buah kakao dengan plastik.
8. Lalu ikat tumpukan tersebut dengan tali, usahakan jangan ada celah tempat udara masuk.
9. Masa Inkubasi pengomposan terjadi selam selama 1,5 sampai 2 bulan, setiap 10 hari sekali dilakukan kegiatan pengamatan.

2.4.3 Pengamatan proses pengomposan
Agar proses pengomposan dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan pengamatan secara teratur. Pengamatan dapat dilakukan seminggu sekali hingga kompos siap digunakan .Pengamatan dilakukan secara fisik dan kimia dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Pengamatan secara fisik meliputi:
a. Suhu kompos
Buka plastik penutup kompos dan raba tumpukan kompos hingga bagian dalam. Seharusnya dalam waktu satu dua hari setelah pembuatan kompos, suhu akan meningkat dengan cepat. peningkatan suhu dapat mencapai 70o C dan dapat berlangsung beberapa minggu, pengukuran suhu kompos dapat menggunakan alat termometer.
b. Kelembaban
Periksa juga kadar air/kelembaban kompos hingga bagian dalam kompos. Kompos yang baik akan terasa lembab namun tidak terlalu basah, kelembaban yang idel pada waktu proses dakomposisi adalah ± 60%.
c. Penyusutan
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik menjadi kompos akan terjadi penyusutan volume kompos. Penyusutan volume ini dapat mencapi setengah (50%) dari volume semula. Apabila selama proses pengomposan tidak terjadi penyusutan volume, kemungkinan proses pengomposan tidak berjalan dengan baik.
d. Perubahan warna bahan baku
Amati pula perubahan warna yang terjadi pada bahan baku kompos. Biasanya warna berubah menjadi coklat kehitam-hitaman. Seringkali jamur juga ditemukan tumbuh subur di atas tumpukan kompos.

Sedangkan pengamatan secara kimia meliputi dua kegiatan pengamatan yaitu:
a. Pengukuran pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5, pengamatan ini dapat menggunakan kertas lakmus.
b. Pengukuran nisbah C/N
Salah satu kriteria kematangan kompos adalah nisbah C/N. Analisa ini hanya bisa dilakukan di laboratorium. Kompos yang telah cukup matang memiliki nisbah C/N<20. Apabila nisbah C/N lebih tinggi, maka kompos belum cukup matang dan perlu waktu dekomposisi yang lebih lama lagi.
2.4.4 Menentukan kematangan kompos
Menurut Isroi (2007), untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji di laboratorium ataupun pengamatan sederhana di lapangan. Berikut ini disampaikan beberapa cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos :
1. Penyusutan bahan baku
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos.Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20–40%. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.
2. Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna putih.
3. Struktur bahan baku
Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas akan mudah hancur.
4. Bau
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan bau bahan bakunya sudah berubah, meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerob dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Dan apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih belum matang.
5. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50o C, berarti proses pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang.

2.4.5 Pengemasan kompos
Kompos yang sudah matang segera dikemas, kompos tersebut dikemas dengan karung dengan berat 25 kg tiap karung, setelah pengemasan selesai kompos siap untuk dijual atau langsung diaplikasikan pada tanaman.